Sungguh kami beriman kepada Rahman dan RahimMu yaa Allah. Kepada ke-Mahabijaksana-anMu bahwa tiadalah keputusan yang adil dan paling baik bagi hambaMu melainkan keputusanMu. Kami bersaksi tiada Ilah selain Allah yang Maha-esa dan Muhammad saw. hamba dan utusan Allah penutup para Nabi. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah untuk beliau, keluarga serta sahabat sampai hari akhir kelak.
Saudaraku...
Kebanyakan dari kita, manusia selalunya melihat wujud kasih-sayang Allah SWT. melalui berita-berita gembira atau melalui setiap kelapangan, kenikmatan dan kesenangan hidup yang kita dapatkan atau saksikan selama ini. Sebaliknya, setiap kesempitan dan kesedihan selalunya dipandang sebagai wujud azab atau murka allah SwT., jarang sekali kita melihat keberadaan kasih-sayangNya dalam kesempitan-kesedihan hidup.
Sesungguhnya, ujian sabar terhadap kelapangan hidup kaya dan senang adalah jauh lebih berat daripada ujian sabar terhadap kesempitan, sakit, dan sedih. Sebab kecendrungan kita, manusia mudah terlena bahkan berpaling dari kebenaran ketika senang. Dan hari perhitungan kelak akan lebih banyak mendapat soalan sehubungan dengan kemana saja telah kita manfaatkan kelebihan dan kenikmatan yang Allah berikan kepada kita.
Sementara, ujian kesempitan dan kesedihan akan lebih menjadikan kita sentiasa waspada dari melanggar batas-batas yang telah di larang Allah dan RasulNya. Lagipun, kelak hisab tak banyak yang nak ditanya. Sebab sedikit kenikmatan dunia dirasakan dan selalunya kita bersedih dan mengharu memohon ampunan Allah dan belas kasihNya.
Hendaknya kita selalu mengingat perkara yang memutus kelezatan dunia ini. “Tiap-tiap yang berjiwa itu akan merasakan mati (di dunia) dan Kami akan menguji kalian (mencoba kalian) dengan keburukan dan kebaikan (seperti miskin, kaya, sakit dan sehat) sebagai cobaan. (maksudnya supaya Kami melihat, apakah mereka bersabar dan bersyukur ataukah tidak.) Dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (alAnbyaa 35)
Jika kita mengaku beriman, nicaya tiadalah hidup kita akan sepi dari ujian selama berjuang di dunia fana ini. Allah berfirman, (al'Ankabuut 2) “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? (3) Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Rasulullla saw. dan para sahabat beliau (radhiaAllah'anhum)tidak pernah sepi hidup mereka dari ujian Allah. Mereka, para sahabat mendapat bimbingan langsung dari Rasulullah dan mendapat predikat kelulusan terbaik sepanjang masa, sebagaimana yang telah Rasulullah saw. katakan dan generasi terbaik setelah itu, tabiin, tabiut tabiin dst.
Saudaraku, perihal dunia ini, renungkanlah wasiat penghulu para nabi, Muhammad saw. ini, "Apa artinya dunia bagiku! Kehadiranku di dunia hanyalah bagaikan seorang pengelana yang tengah berjalan di panas terik matahari, lalu berteduh di bawah naungan pohon beberapa saat, kemudian segera meninggalkannya untuk kembali melanjutkan perjalanan." (HR. At-Tirmidzi)
Semoga samudera Ramdhan dapat kita selami sedalam dan seluasnya pada tahun ini. Semoga Allah mengampuni dan menerima taubat kita. Hendaknya Allah merahmati kita dan menjadikan kita termasuk golongan hambaNya yang bersabar, bersyukur dan bertaqwa. Amien.
Selamat menunaikan ibadah shaum Ramdhan 1433 H. Maaf zahir batin.
1 Ramadhan 1433H/21 July 2012,
Abu Ayyad
Cari di Ayyadelfath
Posting Terbaru
21 July 2012
Sabar, Syukur, dan Taqwa
31 August 2009
Berlaku Amanahlah Kamu (Bingkisan Ramadhan 1430H #1)
Amanah
alAhzab: 72. Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,
Sungguh, manusia itu zalim dengan merusak alam ini dan saling bunuh demi memenuhi nafsu mereka. Manusia itu bodoh dengan merasa pintar dan bangga dengan segala pencapaian dunia yang mereka peroleh.
Benar adalah tidak mungkin rasanya manusia tidak mengeksplorasi alam ini sementara tingkat kebutuhan manusia akan alam sangat tinggi seiring berkembangnya mainan manusia yang mereka sebut rekayasa teknologi dan benar bahwa teknologi tersebut menyentuh hampir tiap sendi kehidupan manusia dewasa ini. Tapi keniscayaan bagi manusia untuk menjaga keseimbangan alam ini agar kelangsungan hidup dan keharmonisannya dapat dirasakan oleh sekalian penghuni bumi dan bukan untuk satu generasi atau kelompok tertentu saja. Tapi seluruh penghuni bumi juga berhak atas dunia ini. Dan untuk jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Pencipta bukan ukuran waktu hidup pribadi manusia yang sesaat.
Sungguh disayang, terlalu banyak manusia yang rakus dan bodoh. Bodoh karena mereka hanya ber-fikir kenikmatan dan kekuasaan sesaat. Mereka hanya ber-fikir sebatas umur mereka yang pendek. Padahal sesungguhnya apa yang mereka fikir menjadi milik mereka di dunia ini sesungguhnya hanyalah pandangan mata atau semata apa yang bisa dirasa oleh panca indra kasar mereka. Hakikatnya semua itu hanya semu atau tipuan zahir berasal dari pembenaran akal -melalui informasi jutaan syaraf- yang ditunggangi oleh nafsu serakah yang jauh dari sentuhan nurani dan jauh dari hati yang bersih. Sebagian mereka itu bahkan tidak memahami bahwa kapan saja mereka bisa mati dan segala kemegahan, kekuasaan, kesenangan dengan mendapati apa jua keinginan mereka selagi hidup tidak akan pernah mereka bawa setelah mereka mati kecuali amal shaleh.
Sebagian lagi ber-fikir-an bahwa hidup hanya sekali, di dunia ini! Dengan kata lain mereka perpendapat tiada kehidupan setelah mati. Golongan ini sangat naïf! Bukan saja bodoh dan ceroboh tapi teramat bodoh! Hehe.. bagaimana tidak? Mati saja mereka belum pernah, bagaimana mungkin mereka bisa memastikan kehidupan ada atau tidak ada setelah kematian? Katakanlah mereka tidak percaya ada kehidupan setelah mati, namun mereka pasti percaya bahwa sekedar berjaga-jaga adalah bukan pekerjaan sia-sia…kecuali mereka sangat bodoh (kalau bukan dikunci mati hatinya) niscaya mereka akan ber-fikir ulang untuk menantang keberadaan kehidupan setelah mati –yang telah nyata mereka tidak mampu memastikannya! Dan katakan kepada mereka, “maka tunggulah, sesungguhnya kami-pun menunggu bersama kalian!”
Tunaikan amanah.
anNisa: 58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Kata-kata amanah kerap diulangi beberapa kali oleh para utusan Allah kepada kaumnya dengan tegas. Sebagai penegasan kepada manusia agar jangan lupa dan mengabaikan amanah yang sudah sejak awal kejadian si manusia dipikulkan ke atasnya. Hey, jika dirimu ditanya dari mana asalmu, untuk apa kamu hidup dan kemana kamu akan pulang? Hampir semua dari jawaban kamu berikan benar karena kebanyakan dari kamu pasti mengetahuinya. Namun sedikit sekali dari kamu memahaminya. Buktinya, masih banyak yang tidak menunaikan hak kerabat atau tetangganya. Masih banyak yang tidak menepati janjinya. Masih banyak yang berkhianat terhadap jabatannya. Masih banyak yang tidak mendidik anaknya sesuai amanah Allah. Masih banyak yang disibukkan oleh kesenangan hidup sehingga lupa memikirkan keadaan sekitarnya. Sungguh, sedikit sekali dari kamu bersedekah!
Sungguh, begitu banyak dari kita yang disibukkan oleh amalan zahir tapi mengabaikan amalan batin. Begitu banyak manusia muslim menggunakan perkataan baik dari Quran dan Sunnah tetapi tidak berusaha mendapatkan hikmah dan kebijaksanaan dari keduanya. Suara-suara kebenaran hanya sampai di telinga dan mata zahir tapi tidak sampai melewati kerongkongan. Telinga jiwa mereka sunyi dan mata hati mereka gelap tak bercahaya. Kamu akan mengenal mereka dari sifatnya yang ekslusif, fanatik, kasar, ria, pendusta dan sangat kikir! Mereka seperti buah apel yang segar namun busuk di dalamnya.
Padahal Allah tidak pernah menuntut pribadi manusia untuk beramal dan patuh kecuali sekadar kesanggupannya saja. Allah Ta’ala lebih mengetahui apa yang ada di sebalik dadamu. Dia sungguh memahami kondisimu. Allah Ta’ala tidak akan memikulkan beban yang berat sekedar kesanggupanmu saja. Oleh sebab itu Allah yang Mahalembut tidak pernah melihat paras dan pakaianmu akan tetapi Dia hanya melihat hatimu. Sungguh Ia tidak mengabaikan amalan shaleh hambanya, walau sebiji zarah sekalipun!
alAnfaal: 27. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.
Saudaraku, mengapa kita selalu khawatir dengan pandangan manusia terhadap diri kita sementara pandangan Allah yang hakiki kita abaikan. Kita ingin manusia menghormati kita akan tetapi amanah Allah dan RasulNya kita abaikan. Untuk apa kita memiliki harta yang banyak, kedudukan terpandang, paras jelita dan rupawan, akan tetapi di mata Allah kita sangat miskin, kerdil dan buruk rupa? Bukankah kita menyadari dari mana asal kita, untuk apa kita di sini (dunia) dan kemana kesudahan kita?? Apa artinya kemegahan tetapi sedikit sekali manusia yang bertamu ke rumah kita. Apa arti kedudukan tetapi dibelakang kita mereka mengutuk dan mencaci maki kita? Apa arti jelita dan rupawan akan tetapi akhlak rumah tangga kita jauh dari keteduhan…
Sebahgian amanah.
atTaghaabun: 17. Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.
Jika esok hari datang seorang miskin dari kerabatmu (atau tetanggamu) kepadamu, bantulah ia memenuhi hajatnya semampu yang engkau kuasa melapangkan kesempitannya. Sesungguhnya, jika engkau ikhlas maka Allah akan menjadi penjamin untuknya. Dan Allah akan balas dengan sesuatu yang jauh lebih besar bahkan mungkin sesuatu yang belum pernah terlintas di-fikiranmu, belum pernah terpandang oleh matamu, dan mungkin sekalipun belum pernah terlintas dibenakmu. Janganlah kamu tergolong orang-orang yang takut menjadi kurang dengan besedekah.
Wahai saudaraku, sesungguhnya kesempitanmu saat ini tidaklah menjadi penghalang untukmu bersedekah dan beramal shaleh. Bukankah memberikan sekedar senyum kepada saudaramu juga sedekah. Membersihkan jalan dari halang-rintang juga sedekah. Dan juga mendoakan kebaikan bagi saudaramu tanpa sepengetahuannya adalah juga sedekah yang sangat baik. Ketahuilah, bagaimana mungkin jelas tanda seorang yang ber-taqwa sebelum jelas bukti-bukti bagi Allah Ta’ala dan jika kita tetap pada keta’atan insyaAllah hidayah akan sampai di hati. Sesungguhnya janji Allah itu dekat.
Wallahu’alam!
9 Ramadhan 1430
05 July 2009
Mari Puji Memuji
Hakikat pujian adalah hak Allah semata. Manusia tiada berhak atas pujian. Benarkah manusia tidak berhak mendapatkan pujian dari sesama makhluk?
Allah Ta’ala membanggakan atau memuji manusia di hadapan malaikatNya, bagi sesiapa yang bangun pada 1/3 malam dan mendirikan qiamul lail. Bagaimana dengan manusia yang makhluk ciptaan dari Sang Khaliq? Sementara Ia berkenan memuji ciptaanNya? Tidakkah kita boleh memuji atau dipuji diantara sesama manusia?
Manusia tidak dapat lari dari fitrahnya sebagai makhluk ciptaan Allah. Manusia butuh pengakuan dari perbuatan, prestasi, kejayaan atau kesuksesaan yang nyata yang digapai dengan perjuangan dan susah payah. Manusia, nyata sekali butuh pengakuan dari apa yang ia sudah perjuangkan. Manusia juga butuh diterima sebagai bagian dari sebuah komunitas yang ia pilih.
Seorang hamba Allah yang melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya, semestinya berharap sesuatu dari kesediaannya untuk patuh dan mengikuti perintah. Kira-kira, kalau tidak ada imbalan, apakah manusia itu akan melaksanakan peritah Allah? Sememangnya, Allah menjanjikan kebaikan yang banyak seperti yang disebutkan dalam Quran diperuntukan bagi hamba-hambaNya yang patuh dan ta’at. Lalu, sekiranya seorang hamba Allah yang shaleh itu tidak menginginkan surga Allah, kenapa ada pikiran dalam dirinya bahwa betulkah atau sudahkah saya beribadah dengan baik? Sudahkah saya melaksanakan perintah Allah seperti yang telah disyari'atkan? Bukankah pertanyaan dalam hati seperti tersebut merupakan kebutuhan terhadap sebuah pengakuan? Bukankah pengakuan itu merupakan adik kakak dengan kata pujian? Atau semata karena dia telah difahamkan tentang sebuah keadaan akhir, sesuatu yang tidak pernah tampak oleh mata, tidak pernah terdengar di telinga dan tidak sekalipun pernah terlintas dipikiran..?
Fitrah manusia membutuhkan pujian atau pengakuan. Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah apakah manusia telah mengambil hak Allah?
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Manusia diciptakan berdasarkan fitrah Allah dan tiada perubahan pada fitrah Allah. Fitrah -menurut kami- adalah agama Islam itu sendiri (atau bagian darinya). Faham kami tentang fitrah adalah setiap nilai-nilai, norma-norma yang benar dan mutlak yang lahir dan tumbuh seiring penciptaan manusia hingga akhir zaman, serta tidak mungkin dinafikan kebenaranya oleh akal sehat manusia itu sendiri.
Oleh sebab itu, maka agama yang benar itu adalah agama yang mampu dicerna dan diterima oleh akal sehat. Agama yang perintah atau kandungannya tidak bisa diterima oleh akal adalah keluar dari fitrah manusia dan serta merta keluar dari fitrah Allah. Maka diciptakanlah manusia itu dari fitrah Allah. Salah satunya, sekiranya fitrah manusia itu membutuhkan pujian maka niscaya pujian itu mengandung nilai-nilai atau norma-norma kebenaran yang bisa diterima oleh akal. Adalah tidak masuk akal sekiranya manusia memuji seseorang akan tetapi dia tidak melakukan sesuatu apapun!?
Rasulullah saw. menasehati sahabatnya agar melemparkan pasir atau debu ke wajah orang yang memuji kita. Adalah tidak mungkin Rasulullah memerintahkan perbuatan itu sekiranya orang yang memuji ikhlas dan sesuai dengan fakta. Kecuali si pemuji memboncengi pujiannya dengan maksud lain alias basa basi atau asal bos senang… Lebih penting lagi bagi yang menerima pujian adalah menyikapi pujian yang tidak beralasan (sekalipun benar) dengan tidak menghadirkan sifat riya, sombong dan tidak lupa diri. Maka jadikanlah pujian itu seperti pasir atau debu yang dilemparkan. Ia akan hilang di padang pasir atau terbang dibawa angin. Bahkan untuk memotivasi anak-anak kita butuh memuji mereka dengan ucapan, hadiah atau sekedar kata terimakasih… wallahu’alam!
16 March 2009
Harta, Agama, Iman
Keinginan
Keinginanmu masih lebih banyak dari harta yang kamu punya. Sementara dia yang menolak sedekahmu, walau hartanya sedikit namun keinginannya jauh lebih sedikit dibanding harta yang dia punya. Kamu atau dia yang sesungguhnya miskin? Bagaimana mungkin orang yang kurang ingin memberi kepada orang yang berlebih...
Hitunglah keinginanmu sepanjang hari ini, atau ingat kembali keinginan-keinginan hari-hari sebelumnya, bulan-bulan yang sudah, tahun yang lalu, adakah semuanya sudah terpenuhi dengan harta yang kamu miliki sehinggalah hari ini?
Kamu terus berencana, merancang, mencari tambahan atau kelebihan dalam hari demi hari dan bulan demi bulan. Bahkan sehinggalah tahun ini kamu masih sibuk menambah hartamu demi terus memenuhi keinginan yang tak kunjung habis.
Pilihan
Jika kamu menghendaki pahala dunia maka kamu akan mendapatinya. Dan jika kamu menghendaki pahala akhirat maka kamu akan mendapatinya. Sedangkan pahala akhirat adalah lebih baik dan kekal.
Menjadi kaya dan mampu memberi adalah baik. Sudahkah kamu memberi? Dan sebaik-baik pemberian adalah dari harta yang paling kamu cintai. Adakah sama seorang yang ketika tidak tahu harus makan apa esok hari tetapi sanggup bersedekah seharga ‘hanya’ sepiring nasi, dibandingkan dengan seorang yang di saat bersamaan sanggup bersedekah senilai seribu piring nasi sementara esok hari ia masih punya jaminan untuk makan satu tahun..?
Keseimbangan...
Carilah pahala akhirat tapi jangan kamu lupakan nasibmu di dunia. Demi masa, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian. Orang-orang beriman pasti mengerjakan amalan shaleh dan saling berbagi dengan nasehat yang baik dan benar belaka. Masa adalah waktu yang membungkus sejarah dan masa depan. Di tengah-tengahnya adalah detik demi detik yang bergerak maju ke hadapan tanpa hambatan.
Bershalat tanda beragama. Berpakaian, bersyarat dan berukun menuju dan melaksanakan shalat adalah berhukum agama. Beragama berarti beribadah dan beramal karena hamba mengimani Tuhan-nya. Berhukum agama berarti surga dan neraka.
Balasan baik dan buruk akan disempurnakan di hari akhirat kelak. Bermakna ada balasan didahulukan semasa hidup di dunia. Ya Rab, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan pula di akhirat kelak.
Wallahu’alam!
19 Rabi'ul awal 1430
30 November 2008
Manusia Skrip dan Cetak biru
Kalau kita urutkan segala pernak-pernik yang bisa bikin hidup seseorang bahagia, pasti akan banyak ragam dan tidak akan habis dibukukan. Menurut hemat saya, hal yang paling penting agar kita bisa menikmati hidup hanya dengan syukur. Hikmah syukur sudah cukup mewakili semua pernak-pernik tadi. Bagaimanapun juga, manusia itu mengukur kebahagiaan hidup ini dengan kepuasaan dan memang tidak bisa dipungkiri, kepuasaan adalah sifat dasar manusia buah kolaborasi nafsu dan akal. Ukuran kepuasaan manusia itu berbeda-beda pula. Sialnya, lebih banyak manusia yang pintar mengukur kepuasaan orang lain dari pada mengukur kepuasaan diri sendiri. Dengan kata lain, lebih kenal orang dari pada dirinya sendiri. Sehingga salah mengambil pilihan yang pas untuk hidupnya.
Ada teori yang mengatakan bahwa kita ini adalah manusia skrip. Manusia itu tumbuh dan hidup dari apa yang ada dipikirannya. Seperti apa corak atau bentuk yang ‘tertulis’ di benak seseorang, seperti itulah sosok (sikap prilaku) dalam kesehariannya. Seorang anak kecil akan takut tidur sendiri atau takut berjalan di tempat yang gelap, karena sebelumnya ia telah di’racuni’ oleh cerita-cerita seram –seperti hantu misalnya. Bahkan seorang dewasa sekalipun akan takut berjalan di perkuburan karena kasus yang sama tadi.
Seorang bayi dari keluarga miskin dipelihara dan dibesarkan dilingkungan kaya dan berpendidikan, pasti hasilnya berbeda dengan bayi dari keluarga kaya dan berpendidikan tapi dibesarkan di hutan. Kasus yang kedua, setelah besar si anak akan jadi tarzan…
Begitu juga dengan sisi kehidupan yang lainnya. Setiap pilihan corak hidup individu manusia pastilah bersumber dari ‘cetak biru’ yang ter’tulis’ di benaknya tadi. Sudah barang tentu cetak biru tiap individu berbeda-beda, karena sumber informasi yang diserap otak berbeda pula.
Jauh-jauh hari Ibnu Sina pernah berpendapat tentang besarnya pengaruh pikiran dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit. Hal ini berbanding lurus pula dengan pikiran negative yang bisa menimbulkan banyak penyakit. Lebih dahsyat lagi, konon kisahnya dari murid Jalaluddin Rumi bercerita tentang gurunya. Ketika si guru berfikir dan bertafakur, atau kalau boleh saya istilahkan, sang guru berfikir dan berbahasa melalui hati maka seluruh -apa yang ada di sekitarnya menjadi hidup. Maka tak salah jika penyair Eropa ada yang mengatakan berfikir -dengan hati- berarti mencipta.
Ringkasnya, ‘cetak biru’ individu manusia adalah sangat penting. Yang namanya ‘cetak biru’ baru sekedar skrip dan masih mungkin untuk dirubah. Akan tetapi alangkah baiknya sekiranya telah di mulai sejak dini –dari tangis pertama seorang bayi. Bayangkan seorang anak ketika lahirnya langsung di azankan ke telinganya oleh sang ayah. Skrip pertama adalah Allah Maha Besar, Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, Marilah mendirikan shalat dan menuju kejayaan. Sebuah pondasi penting yang mengisi cetak biru sang anak. Tiap manusia dilahirkan fitrah…dan yang merubahnya menjadi si A atau si B adalah ibu bapaknya atau siapa saja yang membesarkannya.
Bagaimana dengan skrip yang sudah terlanjur terbentuk? Memang rumit dan sudah pasti susah untuk merubahnya tapi bukan berarti tidak bisa. Mugnkin ada banyak teori di luar sana tentang bagaimana cara merubah tabiat seseorang, tapi saya yakin pada satu hal yang sangat besar pengaruhnya dalam perobahan skrip manusia yaitu belajar menerima.
Belajar menerima itu tidak mudah. Bahkan sangat sulit bagi bagi individu manusia yang overconfidence –yakin berlebihan dengan kemampuannya. Saya tidak sedang mengatakan menerima segala hal dengan mentah, tanpa alasan, dan tanpa perhitungan sama sekali. Bukan begitu, akan tetapi menerima yang dimaksud adalah terbuka terhadap perbedaan informasi dari luar (diri). Hal ini (menerima) sangat penting karena kecendrungan (berat sebelah) lebih disebabkan oleh keyakinan, kebiasaan atau tabiat yang dimiliki oleh seseorang –kalau bukan egoisme sepihak dan menjadikan batas kemampuan diri sebagai standar kebenaran.
Menerima adalah kunci perubahan. Dan harus diingat bahwa perubahan selalu membawa kontroversi. Atawa, perubahan tidak akan ada jika tidak ada kontroversi. Menerima berarti menjadikan kontroversi alat mencapai perubahan yang lebih baik. Akan menguatkan kebenaran yang telah dimiliki dan tidak perlu risau dengan ketertutupan hati orang lain sekiranya kebenaran telah sama-sama dibuktikan –Allah memberi petunjuk kepada sesiapa yang Dia kehendaki, begitu sebaliknya. Tidak menerima berarti menjadikan kontroversi alat mencapai perubahan statis, ekstrimis bahkan anarkis…tragis!
Jika seorang manusia terlanjur atau sudah memiliki skrip (baik itu salah atau benar menurut dirinya) dan menyadari arti pentingnya mencari kebenaran yang lebih tinggi, bolehlah kiranya saya sarankan untuk belajar menerima terlebih dahulu. Bukankah kita diajarkan untuk selalu mengedepankan prasangka baik? Bagaimana kita bisa sampai ke tahap syukur yang baik jika menerima saja kita belum baik...
Baca Selengkapnya......
19 October 2008
Ta'aruf 2
Niat berkenalan untuk menikah = Ta’aruf?
Ada kaedah Fiqh menyebutkan, ‘asal segala sesuatu itu suci’. Sefaham saya, yang menyebabkan suatu perkara menjadi mubah, makruh bahkan haram adalah manusia itu sendiri. yang paling mendasari tiap prilaku-perbuatan manusia itu kan hatinya. Jadi sah saja kalau kita katakan, semuanya kembali kepada hati atau niat si pelaku.
Dari Umar bin Khattab r.a., beliau berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya perbuatan itu dimulai dengan niat, dan setiap sesuatu itu tergantung pada apa yang ia niatkan, barang siapa hijrah karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya kepada keduanya, dan siapa yang hijrah karena dunia atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu kepada apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ta’aruf dunia maya = Khalwat era digital?
Katakanlah niat ikhtiar mencari jodoh. Saya fikir tidak ada larangan bagi seorang muslim berkenalan melalui dunia maya, asal niatnya jelas dan tentu harus mendatangkan manfaat, tidak boleh sebaliknya -mendatangkan mudharat. Apalagi niat ikhtiar mencari jodoh itu adalah niat yang baik. Hanya saja kita perlu mencermati lebih teliti lagi soal niat ini sebelum melangkah lebih jauh dalam berkenalan secara virtual –dunia maya. Hal ini sangat penting demi kemaslahatan diri dan juga orang lain.
Waspadalah!
Mari kita uji kembali kesungguhan niat kita. Benarkah kita ingin menikah dan benar telah siap untuk menikah, sehingga kita merasa perlu mencari pasangan hidup -jodoh? Salah satu ikhtiarnya, kita memilih interaksi dunia maya.
Sudah mantapkah keinginan itu…
Kita bisa tanyakan kembali diri kita atau alangkah baiknya jika kita libatkan orang lain yang memahami kita atau orang yang mengerti betul dengan kelebihan-kekurangan kita. Dalam hal ini, orang tua berada di urutan teratas. Bagaimana dengan pendidikan? Bagaimana dengan kesiapan jasmani rohani? Bagaimana dengan keadaan keluarga? Atau mungkin ada perkara khusus yang hanya kita mengetahuinya dan dikhawatirkan bisa menghambat kesiapan kita menuju ke pernikahan?
Setelah kita yakin akan niat ingin menikah, kita bisa teruskan ikhtiar kita mencari jodoh dengan jalan yang kita inginkan. Sebuah visi-misi pribadi yang sukses dicapai selalu dibangun dari sebuah pengetahuan yang mendalam terhadap diri kita sendiri. Plus-minus diri ini telah dikaji dan menghasilkan sebuah keputusan.
Selanjutnya kita akan memasuki sebuah proses interaksi yang melibatkan pihak lain. Bagaimana sebaiknya? Sebelum kamu saling mengenal lebih jauh cobalah jujur dengan diri sendiri. ada hal sensitif yang manusiawi bagi sebagian pencari jodoh yaitu perkara fisik. Sekiranya kamu tergolong yang mengedapankan faktor ini, maka janganlah terburu-buru mengutarakan niat ingin menikah.
Terlepas niat ingin menikah atau sekedar persahabatan, cobalah cari tahu terlebih dahulu fikir-an, akhlak, cita-cita dan keluarga dari orang yang ingin kita pilih sebelum kita memutuskan menjalin hubungan lebih serius. Beberapa informasi bisa saja menjadi sangat sensitif dan penting bagi sebagian orang. Di dunia maya, photo diri adalah salah satunya yang menjadi bagian penting dalam perkenalan. Apakah photo kita tergolong informasi penting?
Hanya satu timbangan dan cukup satu timbangan!
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka dan Allah Mahamengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita-wanita beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasaannya, kecuali yang terlihat daripadanya. Dan hendaklah mereka mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Quran, anNur: 30-31).”
Dalam Quran, anNur, ayat 30-31, telah jelas masalah utama yang paling dikhawatirkan terhadap keselamatan (kesucian) kita –syahwat! Syahwat sangat mudah terpanggil oleh pandangan dan kaitan yang paling dekat dengan syahwat adalah farj (kemaluan).
Ingatlah! Allah telah tetapkan sebuah ukuran untuk seseorang yang mengatakan dirinya beriman.
Dan seruan menahan pandangan kepada laki-laki dan wanita beriman adalah bahasa lain dari, “Jika kamu tidak mampu menahan pandanganmu maka kamu belum mampu menjadi laki-laki dan wanita beriman”. Tidak perlu kita lanjutkan dengan seruan dari kalimat berikutnya (pada ayat tersebut) yakni menjaga farj.
Sekiranya engkau seorang wanita nan cantik jelita atau pria tampan gagah lagi rupawan, yakinkah dirimu bahwa photo yang diberikan kepadanya tidak akan mempengaruhi keimanannya? Bisa saja dia tidak hanya memandangi tapi bahkan menatap tajam photomu berjam-jam lamanya. Dan hal ini akan menyia-nyiakan banyak waktu yang seharusnya bisa untuk hal-hal bermanfaat. Atau lebih parah lagi, adakah garansi dia tidak membayangkan hal-hal yang tidak senonoh dengan memandangi photo pemberianmu itu? Semua hal ini ini adalah mungkin dan besar kemungkinan terjadi karena mata adalah satu dari dua gerbang di hati yang menjadi pintu atau awal segala maksiat.
Kesimpulan
1. Sekiranya ta’aruf itu boleh maka mantapkan keinginan atau niat ingin menikah dengan terlebih dahulu menguji kesiapan diri dan mintalah nasehat Ibu-Bapa.
2. Sekiranya merasa perlu berkenalan di dunia maya (dunia nyata sekalipun), maka ingatlah mata dan telinga menjadi titik lemah manusia dalam melewati ujian –hasutan nafsu jahat.
3. Ingatlah bahwa menjaga pandangan dan tidak memperturutkan hawa nafsu adalah pertahan pertama. Jika jebol, bahaya kedua akan mengancam dan lebih menjerumuskan, yakni terjerumus ke dalam zina! Pertahan pertama hancur berarti tidak salah kalau dikatakan perbuatan mendekati zina sudah sukses dilaksanakan! Na’uzubillah!
4. Sekiranya ta’aruf bukanlah perkenalan menuju pernikahan, maka setiap perbuatan semisalnya yang mendatangkan manfaat dan mendekatkan diri kepadaNya adalah perkara benar dan mendapat ridha dari Allah Ta’ala. (Tamat)
Baca Selengkapnya......
17 October 2008
Ta'aruf
Ta'aruf dalam secuil faham
Dalam sejarah revolusi manusia, dapat kita lihat sebuah keinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang manusia dan alam ini. Terbukti, sudah berapa banyak ilmu pengetahuan yang tumbuh dari keingin-tahuan manusia tentang diri dan alam-nya. Ilmu sosial, ilmu sejarah, ilmu biologi, ilmu fisika, kedokteran, astronomi dan ilmu-ilmu lainnya, berikut turunan dari ilmu pengetahuan (spesialisasi ilmu) yang banyak sekali dewasa ini. Makna hakiki dari ilmu-ilmu pengetahuan itu, muaranya adalah keingin-tahuan manusia akan dirinya dan juga alam ini. Pantaslah sekiranya ada kata hikmah yang berkenaan dengan hal ini“siapa yang ingin mengenal Tuhannya, maka kenalilah dirinya”.
Dalam hubungan kemanusiaan kita di-faham-kan untuk saling kenal. Hikmah keberagaman mengantarkan kita kepada kenyataan bahwa tiap kita (manusia) memiliki banyak perbedaan dan keunikan.
Sebagai seorang muslim, apapun alasan yang mengharuskan manusia untuk saling kenal, sejak zaman permulaan sampai zaman moderen sekarang ini, tetaplah yang paling penting dalam muamalah (interaksi antar manusia), bertujuan mengenal ayat-ayat atau tanda-tanda ke-Mahabesar-an Allah dan adalah keniscayaan dari pengetahuan itu (mengenal tanda-tanda) akan mengantarkan kita kepada ke-Taqwa-an –menjadi hamba yang takut kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana Allah tegaskan bahwa yang paling mulia di sisiNya adalah orang yang paling taqwa. Inilah misi yang paling kuat yang saya temukan dalam kata “lita’arafu” dalam Quran, surah alHujaraat, ayat 13.
Mungkin juga (saya khawatir) kata ta’aruf -yang santer menjadi bahasa pergaulan dari kaum santri (pelajar di lingkungan pesantren) menjadi kata ganti dari kata “pacaran” yang terlebih dahulu menguasai “bahasa pasar remaja” di Indonesia- diambil dari kata ta’arafu dalam ayat ke-13 surah alHujaraat itu. Dan karena labelnya Islam maka dicarilah kesesuaian agar proses, cara atau sistematika dari kegiatan ta’aruf tadi menjadi tidak salah. Kalau bukan perkara makruh dan syubhat, maka hendaklah kita berhati-hati. InsyaAllah di tulisan kedua, saya mencoba berfikir lebih panjang lebar tentang ta'aruf ini.
Nah, apapun istilahnya sebuah hubungan lain muhrim, atau hubungan lain jenis, kata ta’aruf tidaklah semestinya menjadi masalah penting yang perlu kita salah-benarkan. Karena ta’aruf hanya sebuah kata atau istilah. Yang menjadi penting adalah esensi dari kata ta’aruf atau nilai-nilai yang dijalankan yang terbungkus oleh istilah tadi. Teorinya bisa saja benar, namun yang dikhawatirkan efek dari teori tersebut, yang dapat membawa kepada jalan yang salah. Apalagi syariat Islam sangat menganjurkan meninggalkan perkara yang meragukan (syubhat).
‘Yaa ayyuhannas’ adalah kata seru yang sifatnya universal. Allah menyeru segenap manusia, siapapun dia. Baik yang tunduk (Mu’min) maupun yang ingkar, fasiq, munafiq dan juga yang kafir, semuanya termasuk dalam seruan ini. Bahwasanya diciptakan manusia itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, untuk saling kenal-mengenal. Allah menyeru kepada manusia agar melihat kepada ciptaanNya, khususnya (Q.s. [49]:13) adalah manusia itu sendiri. begitu banyak pelajaran yang bisa diambil manusia dari penciptaan manusia yang beragam bentuk fisik dan sosialnya. Begitu banyak ilmu pengetahuan yang timbul dari keberagaman manusia ini. Pertama kita diingatkan bahwa asal manusia dari percampuran laki-laki dan perempuan. Dalam per-kembang-biakan-nya, manusia menjadi banyak model fisik dan sifat. Padahal asal manusia diciptakan dari jiwa yang satu, lalu diciptakan darinya (Adam a.s.) istrinya.
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah sekalian kamu kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dari dari keduanya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang mana karenaNya kamu meminta dan hubungan berkasih sayang, sesunguhnya Allah ke atas kamu sekalian sangatlah dekat.” (Quran, anNisa [4]: 1).
Nyatalah, bahwa sesungguhnya manusia ini adalah umat yang satu. Dalam arti, manusia itu beriman keseluruhanya kepada ke-Esa-an Allah dan menyadari ‘kesatuan’ antar sesama manusia, sehingga tidak ada perselisihan dan perpecahan. Akan tetapi Allah hendak menguji manusia atas dasar ilmu dan kehendakNya. Maka dibuatlah manusia itu berbeda dan berselisih. Lihat Q.s. alBaqarah [2]: 213, Yunus [10]: 19, dan Q.s. alMaidah [5]: 48.
Kalaulah boleh saya ambil pengertian dari seruan “lita’arafu” dalam surah alHujarat ayat 13 tersebut, bermakna seruan yang berlaku umum kepada sekalian manusia untuk mempelajari, mengenali tanda-tanda ke-Esa-an Allah Swt., dengan tujuan mengenal dan faham akan kebenaran Tuhan dan jika Allah berkehendak, akhirnya -kebenaran yang didapat- akan mengantarkan kepada status insan Taqwa. Sebaliknya, “lita’arafu” bukanlah seruan khusus atau spesifik, yang menjadi istilah hubungan lain jenis. Dengan istilah saya sendiri, makna dari kata “untuk saling kenal-mengenal” bukan untuk seruan yang berhubungan dengan asmara hati anak manusia lain jenis.
Lalu apakah ada hubungan khusus asmara hati anak manusia di luar ikatan pernikahan dalam ajaran agama Islam? Lebih jelasnya, hubungan lain jenis-lain muhrim yang dilabeli kata “ta’aruf” yang maknai dengan proses kenal-mengenal demi mengetahui cocok atau tidak berpasangan dan bisa mengantarkan perjodohan sepasang suami-istri kepada rumah tangga yang mawaddah wa rahmah, apakah ada??? (bersambung)
01 October 2008
Hikmah Puasa (2)
Kita menyaksikan hamparan dunia ini lengkap dengan perhiasannya. Wanita-wanita, anak-anak, harta dunia, kedudukan (lihat q.s. alImran: 14). Manusia merasa mereka mampu menguasai dan memiliki segala keinginannya. Tidak perduli jalan yang mereka tempuh halal atau haram. Mereka, kebanyakan –tidak khawatir- membawa pulang harta haram untuk dimakan oleh anak-anak dan istri-istri mereka.Mereka mengira, dengan harta yang berlimpah dan kedudukan terpandang (jabatan) di mata manusia adalah sebuah kesuksesan atau pencapaian diri karena Tuhan ridha kepada mereka. Padahal kedudukan di mata Allah adalah kemuliaan Taqwa dan Allah tidak pernah sedikitpun memandang kedudukan hambanya dari harta dan jabatan.
Manusia dibuat lupa oleh perhiasan dunia, bahwa kehidupan mereka di dunia ini hanyalah seperti kehidupan diwaktu sore atau pagi hari. Mereka akan menyadarinya ketika hari berbangkit itu tiba (lihat q.s. anNaazi’at: 46). Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan main-main belaka. Ianya hanya sementara dan tidak kekal (lihat q.s. alAn’am: 32).
Allah tidak pernah meminta harta-harta manusia sebagai syarat beramal shaleh dan diterima ibadahnya. Karena Allah tahu manusia itu kikir, kita diminta hanya ber-zakat 2.5 persen dari harta yang kita miliki. Itupun setahun sekali dengan nishab yang telah ditentukan. Bahkan Allah akan menjadikannya bertambah dari harta yang telah dikeluarkan untuk hak orang-orang miskin dan asnab lainnya.
Bagaimana mungkin seorang hamba yang berkelimpahan harta dan kedudukan, merasa dirahmati Allah sementara ia tidak pernah mengeluarkan zakat, melainkan sedikit sekali? Kecuali ia seorang yang ditutup hatinya dan dibiarkan Allah dengan kesesatannya, maka pasti ia akan bertobat dan mengeluarkan zakat!
Bagaimana mungkin seorang hamba mengira ia diberkahi dengan kedudukan dan harta yang berlimpah, sementara hatinya tidak pernah malu untuk menghianati amanah yang diberikan kepadanya. Apakah ia presiden, gubernur, bupati ataupun seorang kepala rumah tangga –suami?
Jika Allah kehendaki, sekejap sahaja Allah tampakkan kedengkian hati-mu dan Allah bentangkan aib-mu sehingga kamu tidak sanggup berjalan di muka bumi. Sekelip mata Allah ambil harta dan kedudukan yang kamu banggakan tanpa kamu pernah menyangka sedikitpun jalannya. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran dari peristiwa sebelum kamu?
Dari itu semua, apakah yang paling dekat menghadirkan perasaan empati, kasih sayang, kesadaran rasa syukur dari tiap suap makanan yang masuk ke mulut sementara hatinya risau –adakah tetangganya punya makanan saat itu atau tidak?
Apakah yang mendatangkan rasa syukur atas berlimpahnya nikmat Allah, keinginan untuk berbagi dan setelah itu -jika Allah kehendaki- akan menghadirkan kemauan dan kekuatan batin, kebersihan hati dan Dia hadirkan pertolongan melalui jalan yang Ia kehendaki? Pertolongan untuk meninggikan kembali derjat hambanya melalui agama yang hak ini. Kalau bukan dimulai dari hal sederhana, berlapar -puasa!
Rasulullah s.a.w. menyebutkan ada tiga golongan ahli surga, (1) Pemimpin yang adil, dermawan dan sesuai dengan hukum. (2) Orang penyayang, lemah lembut terhadap keluarga dan orang-orang Islam. (3) Orang-orang yang menjaga kehormatannya, hanya melakukan yang halal lagi mempunyai tanggungan keluarga. Sementara ahli neraka ada lima, tiga diantanya; (1)Golongan lemah yang dungu, mereka ikut-ikutan kepadamu, tidak berusaha mencari keuntungan untuk agama dan dunianya. (2) Orang yang licik. (3) Orang kikir lagi pendusta (Shaheh Muslim – 8:159).
Apakah yang paling ringan mengajarkan sikap adil, lemah lembut dan berhati-hati terhadap yang haram dan menjaga kehormatan dirinya? Mungkinkah puasa mampu menghadirkan itu semua? Wallahu’alam!
Hari ini 1 Syawal 1429 Hijrah, artinya satu periode Ramdhan baru saja berlalu. Selamat Hari Raya Idil Fitri. Mohon Maaf Lahir dan Batin. (tamat)
Baca Selengkapnya......
Hikmah Puasa
Kalau manusia tidak pernah lapar maka ia pasti tidak faham apa itu lapar dan ia tidak akan pernah memahami hikmah yang didapat manusia-manusia yang selalu merasakan lapar.
Lapar secara fisik-biologis semata adalah perkara sederhana dan mudah untuk difahami bahkan oleh seorang anak kecil sekalipun. Cukup dengan makan –memenuhi kebutuhan biologis maka laparpun berganti kenyang. Akan tetapi perkara penting disebalik lapar ini tidak mampu diambil hikmah oleh kebanyakan manusia berakal.
Banyak sekali dari orang-orang muslim yang berpuasa tetapi hanya sekedar mendapatkan lapar dan dahaga.
Ramadhan telah berlalu dan hari ini adalah Hari Raya Kemenangan bagi kita ummat muslim. Tangan demi tangan bergiliran bersalaman diringi senyum, ucapan maaf dan selamat merayakan hari raya. Adakah yang mendapatkan predikat Taqwa?
Syahdan! Tangan yang bersalaman-pun mampu berkata bahwa hari ini adalah hari kemenangan bagi orang-orang yang menang! Perjuangan dan didikan satu bulan puasa telah menghidupakan kembali ruh bagi sebagian kaum muslimin.
Suaranya lantang menyebut takbir berulang kali! Allahu Akbar!!! Senyumnya terselah tanpa sedikitpun ada terbersit dusta, Ikhlas! Semangatnya berkobar dengan santun seolah bara api menyelimuti sekujur tubuhnya, namun tiada panas terasa baginya dan bagi saudara se-iman yang ada dihadapannya melainkan kesejukan yang meresam kesanubari dan memberikan ketenangan yang tiada tara. Mereka siap perang terbuka dengan tentara nafsu buruk yang dipimpin oleh Iblis laknat sekalian alam. Manusia tentram berada didekatnya.
Allah menguji manusia melalui dua gerbang dunia yakni telinga dan mata (lihat q.s. alInsaan: 2).
Ya, hanya dua gerbang dunia yang menjadi pintu masuk bagi manusia untuk terjerumus kedalam tipu daya dunia fana. Bayangkan engkau buta dan tuli! Lantas bagaimana engkau menimbang kenikmatan yang engkau rasakan di muka bumi? Tanyakan kepada orang buta dan tuli sedari lahirnya... (bersambung)
17 September 2008
Tentang Takdir dan Ikhtiar
Realitas yang membungkus akal bukan akal yang membungkus realitas. Begitu pernah kutegaskan kepada seorang teman yang ngotot dengan tuhan akalnya.
Adalah kenyataan ketika kebahagiaan menyelimuti hati dengan begitu lembutnya. Ketika sebuah keinginan terkabul. Ketika harapan terserlah. Ketika keajaiban datang menghibur. Ketika itu saat kau hampir melupakan kenyataan lainnya atau bahkan kau betul-betul melupakan selain kebahagiaan itu.
Sebaliknya, dunia serasa sempit menyesakkan ketika tangis berderai, ketika senyum tak mampu menghias wajah, ketika kekuatan sirna, ketika hidup seolah tak bermaya, ketika kesepian semakin menghampakan rasa. Ketika itu saat kau mulai mengingat kenyataan lainnya atau bahkan kau akan betul-betul mengingatnya bersama ratapan itu.
Akal bukanlah siapa-siapa. Meskipun dia makhluk yang diberi kehormatan oleh penciptanya, asalnya ia tetap makhluk -dia terbatas. Manusia memang sombong…, manusia memang gopoh…, manusia memang tidak lepas dari salah dan lupa…
Pernahkah kau mendapati mereka-mereka yang menuhankan akalnya? Mereka-mereka yang mengatakan, “Apakah kami akan memberi makan orang-orang yang Tuhan mereka menjamin makanan/rezki mereka?” Lantas mereka tidak mau bersedekah.
Ada juga yang bertanya, “Terangkan tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya halal dan haram?” Ada yang ber-senda tentang hal salah atau benar tetap dapat pahala demi mendapatkan sebuah hasil ijtihad.
Atau kau juga pernah mendengar pertanyaan ini, “Kalau Dia ada, di mana Dia sekarang? Seperti apa rupaNya? Lagi ngapain Dia?” Lantas mereka tidak mau ber-Tuhan. Lebih menyedihkan lagi ketika mereka katakan, “Tuhan hanya ada dikampung-kampung, bersama orang-orang yang lemah, bersama orang-orang yang tidak mampu mendapatkan keinginannya kecuali tangisan dan ratapan kepada sesuatu yang tidak pernah ada –Tuhan!”
Kalau mereka mentok dengan akalnya, mereka lantas bunuh diri, kebingungan dan menjadi tidak waras bin majnun. Atau sebagian ada yang mulai mengerti.. dan sebagian lain dibiarkan sesat berdasarkan ilmunya (akal).
Terkadang akal merasa super -dengan segala kilah dan silatnya- menghadapi kenyataan hidup (realitas). Padahal sesungguhnya dia benar-benar dalam masalah dan membutuhkan petunjuk…
Annisa [4]:97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya; “dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri”. Para Malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya di neraka jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Jika kau berusaha sekuat hati dan tenaga untuk menembus realitas, kau akan merasakan sakit yang berbanding lurus dengan “usaha”-mu –semakin ngotot maka akan semakin sakit… Realitas yang membungkus akal bukan akal yang membungkus realitas.