Ta'aruf dalam secuil faham
Dalam sejarah revolusi manusia, dapat kita lihat sebuah keinginan untuk mengetahui lebih jauh tentang manusia dan alam ini. Terbukti, sudah berapa banyak ilmu pengetahuan yang tumbuh dari keingin-tahuan manusia tentang diri dan alam-nya. Ilmu sosial, ilmu sejarah, ilmu biologi, ilmu fisika, kedokteran, astronomi dan ilmu-ilmu lainnya, berikut turunan dari ilmu pengetahuan (spesialisasi ilmu) yang banyak sekali dewasa ini. Makna hakiki dari ilmu-ilmu pengetahuan itu, muaranya adalah keingin-tahuan manusia akan dirinya dan juga alam ini. Pantaslah sekiranya ada kata hikmah yang berkenaan dengan hal ini“siapa yang ingin mengenal Tuhannya, maka kenalilah dirinya”.
Dalam hubungan kemanusiaan kita di-faham-kan untuk saling kenal. Hikmah keberagaman mengantarkan kita kepada kenyataan bahwa tiap kita (manusia) memiliki banyak perbedaan dan keunikan.
Sebagai seorang muslim, apapun alasan yang mengharuskan manusia untuk saling kenal, sejak zaman permulaan sampai zaman moderen sekarang ini, tetaplah yang paling penting dalam muamalah (interaksi antar manusia), bertujuan mengenal ayat-ayat atau tanda-tanda ke-Mahabesar-an Allah dan adalah keniscayaan dari pengetahuan itu (mengenal tanda-tanda) akan mengantarkan kita kepada ke-Taqwa-an –menjadi hamba yang takut kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana Allah tegaskan bahwa yang paling mulia di sisiNya adalah orang yang paling taqwa. Inilah misi yang paling kuat yang saya temukan dalam kata “lita’arafu” dalam Quran, surah alHujaraat, ayat 13.
Mungkin juga (saya khawatir) kata ta’aruf -yang santer menjadi bahasa pergaulan dari kaum santri (pelajar di lingkungan pesantren) menjadi kata ganti dari kata “pacaran” yang terlebih dahulu menguasai “bahasa pasar remaja” di Indonesia- diambil dari kata ta’arafu dalam ayat ke-13 surah alHujaraat itu. Dan karena labelnya Islam maka dicarilah kesesuaian agar proses, cara atau sistematika dari kegiatan ta’aruf tadi menjadi tidak salah. Kalau bukan perkara makruh dan syubhat, maka hendaklah kita berhati-hati. InsyaAllah di tulisan kedua, saya mencoba berfikir lebih panjang lebar tentang ta'aruf ini.
Nah, apapun istilahnya sebuah hubungan lain muhrim, atau hubungan lain jenis, kata ta’aruf tidaklah semestinya menjadi masalah penting yang perlu kita salah-benarkan. Karena ta’aruf hanya sebuah kata atau istilah. Yang menjadi penting adalah esensi dari kata ta’aruf atau nilai-nilai yang dijalankan yang terbungkus oleh istilah tadi. Teorinya bisa saja benar, namun yang dikhawatirkan efek dari teori tersebut, yang dapat membawa kepada jalan yang salah. Apalagi syariat Islam sangat menganjurkan meninggalkan perkara yang meragukan (syubhat).
‘Yaa ayyuhannas’ adalah kata seru yang sifatnya universal. Allah menyeru segenap manusia, siapapun dia. Baik yang tunduk (Mu’min) maupun yang ingkar, fasiq, munafiq dan juga yang kafir, semuanya termasuk dalam seruan ini. Bahwasanya diciptakan manusia itu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, untuk saling kenal-mengenal. Allah menyeru kepada manusia agar melihat kepada ciptaanNya, khususnya (Q.s. [49]:13) adalah manusia itu sendiri. begitu banyak pelajaran yang bisa diambil manusia dari penciptaan manusia yang beragam bentuk fisik dan sosialnya. Begitu banyak ilmu pengetahuan yang timbul dari keberagaman manusia ini. Pertama kita diingatkan bahwa asal manusia dari percampuran laki-laki dan perempuan. Dalam per-kembang-biakan-nya, manusia menjadi banyak model fisik dan sifat. Padahal asal manusia diciptakan dari jiwa yang satu, lalu diciptakan darinya (Adam a.s.) istrinya.
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah sekalian kamu kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya, dari dari keduanya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang mana karenaNya kamu meminta dan hubungan berkasih sayang, sesunguhnya Allah ke atas kamu sekalian sangatlah dekat.” (Quran, anNisa [4]: 1).
Nyatalah, bahwa sesungguhnya manusia ini adalah umat yang satu. Dalam arti, manusia itu beriman keseluruhanya kepada ke-Esa-an Allah dan menyadari ‘kesatuan’ antar sesama manusia, sehingga tidak ada perselisihan dan perpecahan. Akan tetapi Allah hendak menguji manusia atas dasar ilmu dan kehendakNya. Maka dibuatlah manusia itu berbeda dan berselisih. Lihat Q.s. alBaqarah [2]: 213, Yunus [10]: 19, dan Q.s. alMaidah [5]: 48.
Kalaulah boleh saya ambil pengertian dari seruan “lita’arafu” dalam surah alHujarat ayat 13 tersebut, bermakna seruan yang berlaku umum kepada sekalian manusia untuk mempelajari, mengenali tanda-tanda ke-Esa-an Allah Swt., dengan tujuan mengenal dan faham akan kebenaran Tuhan dan jika Allah berkehendak, akhirnya -kebenaran yang didapat- akan mengantarkan kepada status insan Taqwa. Sebaliknya, “lita’arafu” bukanlah seruan khusus atau spesifik, yang menjadi istilah hubungan lain jenis. Dengan istilah saya sendiri, makna dari kata “untuk saling kenal-mengenal” bukan untuk seruan yang berhubungan dengan asmara hati anak manusia lain jenis.
Lalu apakah ada hubungan khusus asmara hati anak manusia di luar ikatan pernikahan dalam ajaran agama Islam? Lebih jelasnya, hubungan lain jenis-lain muhrim yang dilabeli kata “ta’aruf” yang maknai dengan proses kenal-mengenal demi mengetahui cocok atau tidak berpasangan dan bisa mengantarkan perjodohan sepasang suami-istri kepada rumah tangga yang mawaddah wa rahmah, apakah ada??? (bersambung)
Cari di Ayyadelfath
Posting Terbaru
17 October 2008
Ta'aruf
Labels:
Tela'ah Fikir 'ku

Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment