Realitas yang membungkus akal bukan akal yang membungkus realitas. Begitu pernah kutegaskan kepada seorang teman yang ngotot dengan tuhan akalnya.
Adalah kenyataan ketika kebahagiaan menyelimuti hati dengan begitu lembutnya. Ketika sebuah keinginan terkabul. Ketika harapan terserlah. Ketika keajaiban datang menghibur. Ketika itu saat kau hampir melupakan kenyataan lainnya atau bahkan kau betul-betul melupakan selain kebahagiaan itu.
Sebaliknya, dunia serasa sempit menyesakkan ketika tangis berderai, ketika senyum tak mampu menghias wajah, ketika kekuatan sirna, ketika hidup seolah tak bermaya, ketika kesepian semakin menghampakan rasa. Ketika itu saat kau mulai mengingat kenyataan lainnya atau bahkan kau akan betul-betul mengingatnya bersama ratapan itu.
Akal bukanlah siapa-siapa. Meskipun dia makhluk yang diberi kehormatan oleh penciptanya, asalnya ia tetap makhluk -dia terbatas. Manusia memang sombong…, manusia memang gopoh…, manusia memang tidak lepas dari salah dan lupa…
Pernahkah kau mendapati mereka-mereka yang menuhankan akalnya? Mereka-mereka yang mengatakan, “Apakah kami akan memberi makan orang-orang yang Tuhan mereka menjamin makanan/rezki mereka?” Lantas mereka tidak mau bersedekah.
Ada juga yang bertanya, “Terangkan tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya halal dan haram?” Ada yang ber-senda tentang hal salah atau benar tetap dapat pahala demi mendapatkan sebuah hasil ijtihad.
Atau kau juga pernah mendengar pertanyaan ini, “Kalau Dia ada, di mana Dia sekarang? Seperti apa rupaNya? Lagi ngapain Dia?” Lantas mereka tidak mau ber-Tuhan. Lebih menyedihkan lagi ketika mereka katakan, “Tuhan hanya ada dikampung-kampung, bersama orang-orang yang lemah, bersama orang-orang yang tidak mampu mendapatkan keinginannya kecuali tangisan dan ratapan kepada sesuatu yang tidak pernah ada –Tuhan!”
Kalau mereka mentok dengan akalnya, mereka lantas bunuh diri, kebingungan dan menjadi tidak waras bin majnun. Atau sebagian ada yang mulai mengerti.. dan sebagian lain dibiarkan sesat berdasarkan ilmunya (akal).
Terkadang akal merasa super -dengan segala kilah dan silatnya- menghadapi kenyataan hidup (realitas). Padahal sesungguhnya dia benar-benar dalam masalah dan membutuhkan petunjuk…
Annisa [4]:97. Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, malaikat bertanya; “dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri”. Para Malaikat berkata, “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya di neraka jahannam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Jika kau berusaha sekuat hati dan tenaga untuk menembus realitas, kau akan merasakan sakit yang berbanding lurus dengan “usaha”-mu –semakin ngotot maka akan semakin sakit… Realitas yang membungkus akal bukan akal yang membungkus realitas.
Cari di Ayyadelfath
Posting Terbaru
17 September 2008
Tentang Takdir dan Ikhtiar
Labels:
Tela'ah Fikir 'ku
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment