السلام عليكم و رحمة اللة وبركاتة

Cari di Ayyadelfath

Posting Terbaru

30 November 2008

Manusia Skrip dan Cetak biru

Kalau kita urutkan segala pernak-pernik yang bisa bikin hidup seseorang bahagia, pasti akan banyak ragam dan tidak akan habis dibukukan. Menurut hemat saya, hal yang paling penting agar kita bisa menikmati hidup hanya dengan syukur. Hikmah syukur sudah cukup mewakili semua pernak-pernik tadi. Bagaimanapun juga, manusia itu mengukur kebahagiaan hidup ini dengan kepuasaan dan memang tidak bisa dipungkiri, kepuasaan adalah sifat dasar manusia buah kolaborasi nafsu dan akal. Ukuran kepuasaan manusia itu berbeda-beda pula. Sialnya, lebih banyak manusia yang pintar mengukur kepuasaan orang lain dari pada mengukur kepuasaan diri sendiri. Dengan kata lain, lebih kenal orang dari pada dirinya sendiri. Sehingga salah mengambil pilihan yang pas untuk hidupnya.

Ada teori yang mengatakan bahwa kita ini adalah manusia skrip. Manusia itu tumbuh dan hidup dari apa yang ada dipikirannya. Seperti apa corak atau bentuk yang ‘tertulis’ di benak seseorang, seperti itulah sosok (sikap prilaku) dalam kesehariannya. Seorang anak kecil akan takut tidur sendiri atau takut berjalan di tempat yang gelap, karena sebelumnya ia telah di’racuni’ oleh cerita-cerita seram –seperti hantu misalnya. Bahkan seorang dewasa sekalipun akan takut berjalan di perkuburan karena kasus yang sama tadi.

Seorang bayi dari keluarga miskin dipelihara dan dibesarkan dilingkungan kaya dan berpendidikan, pasti hasilnya berbeda dengan bayi dari keluarga kaya dan berpendidikan tapi dibesarkan di hutan. Kasus yang kedua, setelah besar si anak akan jadi tarzan…
Begitu juga dengan sisi kehidupan yang lainnya. Setiap pilihan corak hidup individu manusia pastilah bersumber dari ‘cetak biru’ yang ter’tulis’ di benaknya tadi. Sudah barang tentu cetak biru tiap individu berbeda-beda, karena sumber informasi yang diserap otak berbeda pula.



Jauh-jauh hari Ibnu Sina pernah berpendapat tentang besarnya pengaruh pikiran dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit. Hal ini berbanding lurus pula dengan pikiran negative yang bisa menimbulkan banyak penyakit. Lebih dahsyat lagi, konon kisahnya dari murid Jalaluddin Rumi bercerita tentang gurunya. Ketika si guru berfikir dan bertafakur, atau kalau boleh saya istilahkan, sang guru berfikir dan berbahasa melalui hati maka seluruh -apa yang ada di sekitarnya menjadi hidup. Maka tak salah jika penyair Eropa ada yang mengatakan berfikir -dengan hati- berarti mencipta.

Ringkasnya, ‘cetak biru’ individu manusia adalah sangat penting. Yang namanya ‘cetak biru’ baru sekedar skrip dan masih mungkin untuk dirubah. Akan tetapi alangkah baiknya sekiranya telah di mulai sejak dini –dari tangis pertama seorang bayi. Bayangkan seorang anak ketika lahirnya langsung di azankan ke telinganya oleh sang ayah. Skrip pertama adalah Allah Maha Besar, Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah, Marilah mendirikan shalat dan menuju kejayaan. Sebuah pondasi penting yang mengisi cetak biru sang anak. Tiap manusia dilahirkan fitrah…dan yang merubahnya menjadi si A atau si B adalah ibu bapaknya atau siapa saja yang membesarkannya.

Bagaimana dengan skrip yang sudah terlanjur terbentuk? Memang rumit dan sudah pasti susah untuk merubahnya tapi bukan berarti tidak bisa. Mugnkin ada banyak teori di luar sana tentang bagaimana cara merubah tabiat seseorang, tapi saya yakin pada satu hal yang sangat besar pengaruhnya dalam perobahan skrip manusia yaitu belajar menerima.

Belajar menerima itu tidak mudah. Bahkan sangat sulit bagi bagi individu manusia yang overconfidence –yakin berlebihan dengan kemampuannya. Saya tidak sedang mengatakan menerima segala hal dengan mentah, tanpa alasan, dan tanpa perhitungan sama sekali. Bukan begitu, akan tetapi menerima yang dimaksud adalah terbuka terhadap perbedaan informasi dari luar (diri). Hal ini (menerima) sangat penting karena kecendrungan (berat sebelah) lebih disebabkan oleh keyakinan, kebiasaan atau tabiat yang dimiliki oleh seseorang –kalau bukan egoisme sepihak dan menjadikan batas kemampuan diri sebagai standar kebenaran.

Untuk mengetahui ikan yang paling besar adalah dengan menguras kolam bukan melihat riak air atau dari seekor ikan yang terpancing.
Misalkan seseorang memiliki keyakinan tentang sebuah etika. Katakanlah, seorang anak dimarahi ibunya hanya karena si anak ketika bermain dengan teman-temannya, selalu dengan lantang menyebut dirinya dengan kata ‘aku’. Lalu ibunya menegur, “Janganlah menyebut kata ‘aku’ atau ‘kau’ ‘anakku. Kata itu adalah bahasa syaithan. Katakanlah saya atau kamu…” Lalu besarlah si anak dengan kata ‘saya dan kamu’. Seiring tumbuh besarnya si anak, maka semakin luaslah lingkup hidupnya –bisa jadi si anak telah keluar dari rumah dan kampung halamannya. Apa yang di dapat si anak dari dunia luar? Ternyata dia mendapati kerasnya hidup dan etika yang sangat kontras dengan yang pernah diajarkan ibunya. Pasti ada goncangan di hati sang anak untuk beradaptasi dengan dunia yang ‘sebenarnya’. Ketika ia harus berkata ‘Aku’ kepada dunia barunya, itu bukan berarti dia telah melupakan amanah ibunya akan tetapi dia menyadari bahwa dunia barunya juga memiliki ‘ibu’ seperti dirinya. Bagaimana dia bisa tahu ibunya yang paling benar seandainya ia mentah-mentah menolak ibu-ibu yang lain? Maka kuras dulu kolam ibu ‘aku’ dan kolam ibu ‘saya’ baru bisa dilihat ikan yang paling besar milik siapa? Hukum manusia itu seperti menguras air laut. Tidak akan pernah habis…tidak ada yang mutlak benar selamanya!



Menerima adalah kunci perubahan. Dan harus diingat bahwa perubahan selalu membawa kontroversi. Atawa, perubahan tidak akan ada jika tidak ada kontroversi. Menerima berarti menjadikan kontroversi alat mencapai perubahan yang lebih baik. Akan menguatkan kebenaran yang telah dimiliki dan tidak perlu risau dengan ketertutupan hati orang lain sekiranya kebenaran telah sama-sama dibuktikan –Allah memberi petunjuk kepada sesiapa yang Dia kehendaki, begitu sebaliknya. Tidak menerima berarti menjadikan kontroversi alat mencapai perubahan statis, ekstrimis bahkan anarkis…tragis!

Jika seorang manusia terlanjur atau sudah memiliki skrip (baik itu salah atau benar menurut dirinya) dan menyadari arti pentingnya mencari kebenaran yang lebih tinggi, bolehlah kiranya saya sarankan untuk belajar menerima terlebih dahulu. Bukankah kita diajarkan untuk selalu mengedepankan prasangka baik? Bagaimana kita bisa sampai ke tahap syukur yang baik jika menerima saja kita belum baik...

0 comments:

Post a Comment

Email-kan saya update posting dari Ayyad

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner