Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh…begitu jawabku dalam hati membaca sms yang masuk. Sedikit terkejut, dalam kantuk ku lihat jam di hp-ku. Pukul 1 lewat dikit. Belum lekang kantuk-ku, dalam langkah membawa tubuh yang malas ini –menuju wudhu aku berhenti sejenak melihat ke dinding..., masyaAllah! Aku sepertinya sudah tidak memperdulikan waktu, yang dalam ukuran manusia diwujudkan dalam bentuk detik-detik jarum jam dan dalam bentuk angka-angka almanak hitungan hari, minggu, bulan dan tahun. Padahal aku didalamnya –hidup bersama sang waktu- dan ternyata hari ini sudah tanggal 10 September/ 10 Syawal… Terimakasih istriku, atas ucapan selamat ulang tahun yang tertulis di sms itu pukul 00:11.
Setelah dapat dua rakaat, tergerak pula hati ini nak menulis sedikit. Ya, sudah begitu lama rasanya… Tapi seberapa lama sesungguhnya, sekiranya kita ingat kembali berita Quran alKarim tentang orang-orang yang ketika dibangkitkan dari kuburnya mereka menjawab pertanyaan sudah berapa lama kamu di dalam kubur? Jawab mereka, “seperti baru semalam…..” subhanallah, singkat sekali umur dunia ini. Kita tahu, kabar lain dalam Quran alKarim tentang perbandingan 1 hari di dunia laksana 1000 tahun di akhirat dalam hitungan kita manusia. Dan dalam bahasa Rasulullah saw. umur dunia ini ibarat sepeninggalan kafilah, setelah kafilah tersusulkan oleh kita maka sebegitulah umur dunia ini. Atau jarak antara kiamat dengan hari ini adalah seolah seperti jarak ibu jari dan jari telunjuk yang di rapatkan…Wallahu’alam.
Ada hikmah, kenapa sebagian kita dibiasakan –kalau tidak boleh kita sebut tradisi, sesuatu yang disengaja menjadi kebiasaan untuk selalu mengingat mati- dengan adanya ‘meniga hari’, 40 hari, 100 hari, setahun dan seterusnya. Tak lain karena mengingat mati adalah obat mujarab untuk melembutkan hati yang keras, mengingatkan hati dan pandangan mata yang dewasa ini timbangannya selalu condong ke-duniawi-an…dan semakin jauh dari tujuan terbaik seperti kata Quran alKarim, bahwa akhirat itu lebih baik dan kekal sekiranya kamu mengetahui. Jadi, mari kita kembalikan hikmah azali dari tradisi pendahulu kita dalam mengadakan peringatan tentang wafatnya guru-guru kita, keluarga atau kerabat -dengan bacaan ayat-ayat suci Quran, tahlil dan tahmid sebagai cambuk untuk selalu mengingatkan kita bahwa ingatlah dari mana kamu datang dan kemana kamu akan kembali. Maka berlaku ihsanlah kita sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kita semua.
Sementara mengingatkan kelahiran, hakikatnya semakin mendekatkan kita kepada liang kubur. Bukan sebaliknya, perayaan kegembiraan dengan meniup lilin, memotong cake, bertepuk tangan dan bernyanyi gembira bersama –menurut hemat kami- adalah tradisi kaum yang diberi tangguh agar semakin bertambah kedurhakaannya. Karena itu, takutlah kita sekiranya tergolong kaum atau golongan orang-orang yang dibiarkan ‘dalam kelapangan’ sementara kita –merasa- meyakini mendapatkan rahmat dan berkah dari kebaikan-kebaikan yang menurut kita ‘diterima’. Na’uzubillah summa na’uzubillah.
Anyway, thank you my wife for the wishes. Belum lekang dari ingatan Ayah di pagi raya 1 Syawal 1431H/10 September 2010M. tahun lepas, bersama ade Ayyad di shaft paling depan, air mata menitik deras tak terbendung mendengar takbir bergetar dari khatib shalat raya tika itu. Ayah peluk dengan erat adek Ayyad berulang kali –sangat dalam dekapan itu. Dan ternyata, itulah raya terakhir bersama adek Ayyad, suatu pagi yang cerah dan penuh syahdu, hari dimana seolah semuanya tengah mengucapkan selamat ulang tahun. Tak kuasa nak menulis lagi, insyaAllah esok kita sambung goresan ini…
Cari di Ayyadelfath
Posting Terbaru
10 September 2011
antara Maut dan Lahir
Labels:
Celoteh Fikir 'ku

Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment