(27 Sya’ban 1424 H., 01:lebih-kurang WIB.) Malam semakin larut ketika Iwan Fals bernyanyi riang di depan corong speaker kecil di samping monitor komputer. Pikiranku jauh menerawang, menembus dinding-dinding waktu, menyibak lembah-lembah ingatan yang mulai kabur ditutupi lumut-lumut kisah yang terus bertambah seiring bertambahnya jejak kaki yang panjang sepanjang mata memandang kabut pagi, hilang ketika tiap kali aku hampiri. Aku merasa semakin bodoh dengan semakin kencangnya suara tawa dari sebuah ruangan yang sangat luas di dalam kerajaan hati. Jelajah fikir terhenti di sini, di tengah-tengah ruang sidang dan dikelilingi para penasehat dan warga kerajaan hati.
Perlahan suara tawa terhenti dan berganti keheningan, sehening galaxi bima sakti yang terselip di antara trilyunan sejawatnya yang tidak pernah mau berkisah atau memperkenalkan diri kepada kutil bima sakti tempat para budak akal berlegar bermegah-megah dengan mainan buatan mereka yang berjudul 'high tech' atau 'info tech'. Kedengarannya lebih mirip suara cecak, tek..tek..tek..! Eh, ngomong-ngomong cecak, kalo teriakin temannya yang jatuh ke lantai kamar, dia akan bilang begini, "Oi..! ngapain kamu di 'atas' sana, hayo turun cepat ke sini!" Dan seekor nyamuk terkekeh-kekeh mendengarnya. Karena takut terdengar oleh si cecak, si nyamuk mencari tempat tersembunyi untuk meledakkan tawanya,"Cecak guoblok!" Makanya telingaku sering diganggu nyamuk ketika sedang tidur.
Tok! Tok! Tok! Bunyi palu diketukkan dan terdengar bak halilintar di siang bolong, memecahkan lamunanku. "Eh, cecak! Eh, nyamuk!" kataku tergagap. Aku cepat sadar kembali, dan duduk manis di kursi pesakitan. Mataku jelalatan memerhatikan tiap sosok gelap yang melingkari aku (harap-harap ada yang aku kenal). Ah, ternyata aku benar-benar orang asing di sini, tiada satupun yang aku kenal.
"Sekarang katakan apa masalahmu. Sidang tidak ingin mendengar masalah-masalah yang sudah-sudah. Cukup satu sidang untuk satu masalah!" Suara itu menggema dari tiap sudut ruangan. Diriku seperti magnet yang menyedot habis semua gelombang suara -tak tersisa. Dan seperti biasa, aku tidak mampu menandai asal suara tersebut. "Mmm..., aku pengin berhenti bekerja dan mencari pekerjaan baru lagi!" sahutku sedikit ragu. "Apa!!! Tidak lagi! Kesempatan yang lalu sudah pernah kita bahas. Yang lain, kalau tidak ada, sidang ditutup!" Ancam suara dari tiap sudut ruang sidang.
"Ok..! Ok..!! aku 'ngerti. Mmm.., aku pengin nikah nih. Tapi masalahnya bikin aku hampir-hampir malas memikirkannya. Yaa.., mungkin seperti masalah bangsa Indonesia lah. Sangat kompleks, terintegrasi, variatif dalam kehomogenannya, semua masalah mengglobal sehingga susah untuk terrekognisikan. Tiap kali aku berhasil mengindentifikasikan dan mengklasifikasikan ke dalam kotak warna-warni, yang kunamai kotak-kotak idialisme, masih tersisa bola-bola warna-warni materialisme yang juga harus 'ku isi. Masalahnya, abivalensi kepentingan isi kotak dan bola tadi membuat distribusi diferensiasi masalahku jadi tumpang-tindih. Konvensi transosial-kultural menghendaki sebuah neraca seimbang, baru bisa dinamakan sebuah 'keadilan' marital. Sebenarnya kotak dan bola tadi cukup ekuivalen (beda-beda dikit lah). Hanya saja, kultur dogmatis menyelipkan kerikil kasat mata (berat pula tuh) di antara kotak-kotak idialisme, menyebabkan neraca tidak seimbang. Keadaan seperti inilah yang menjadikan ekplorasi tambang masalahku jadi tidak berhasil.
Padahal, bola-bola warna warniku belum terisi keseluruhannya, hanya sebagian dan itu sudah cukup untuk mengimbangi kotak-kotak idealisme. Tapi aku terkesan enggan memenuhi bola-bola warna-warni itu. Yaah, mungkin superioritas logika yang menciptakan ide dan materi telah meremehkan keberadaan materi, begitu juga dengan ide. Bagaimana tidak, sedangkan 'logika' saja tidak mampu menciptakan dirinya sendiri, apalagi ciptaannya! Dengan begitu, bagaimana aku bisa menganggap penting kotak-kotak dan bola-bola warna-warni tadi. Toh, mereka 'kan ciptaanku sendiri. Tapi sayang, aku bukan pencipta logika pasanganku dan logika-logika lain yang mau-tak-mau terlibat langsung dengan logika-ku. Inilah sebab timbulnya perbedaan dan aku sangat-sangat respek dengan terus belajar memahami dan menerimanya. Help me dong... wahai majelis sidang yang terhormat. Aku memang susah diajak kompromi, tapi bukan berarti aku tidak kooperatif lho... pokoknya really, really, really... cooperative."
"Baiklah, majelis telah mencatat permasalahanmu. Hanya saja kamu tidak menceritakan keluhanmu secara jelas. Kamu suka berkelit. Sepertinya, kamu tidak ingin kami mengetahui masalahmu. Kamu salah besar kalau begitu! Tapi, gak pa-pa kok, dewan sidang sudah tahu seluruhnya, dan sebenarnya hanya butuh pengakuan dari dirimu saja. Baiklah, dengan ini sidang ditutup dan anggota majelis dibubarkan." Tok..Tok..Tok..! bunyi palu mengiringi kata terakhir dari suara majelis. "Aaah, selalu saja begini. Aku tidak pernah diberikan jawaban langsung atas setiap keluhanku. Majelis pelit!" Gerutuku sambil berdiri dan mulai beranjak pergi. Tiba-tiba suara gemuruh terdengar lantang. Berasal dari speaker kecil tadi. Wuaaaah..!! Yeeeeeeeeee..!! Jreng..jreng..dum..dumm!! Ternyata Edan ee.. sedang nyanyi menggantikan bang Iwan yang sudah kecapean nyanyi sejak tengah malam tadi. Ternyata dari tadi aku tidak bisa menikmati musik yang sengaja 'ku stel pelan, nyaris tak terdengar. Sudahlah, itu hanya sebuah musik yang tidak ubahnya seperti deretan baju-baju di lemariku (jumlahnya bisa dihitung dengan jari). Terkadang aku harus mengenakannya sesuai kebutuhan dan jelas baju-baju itu kalah dominan dengan seperangkat pakaian lain yang rutin aku kenakan.
Begitulah musik-musik mendapati dirinya di sebuah ruang kecil dalam lemari hidupku dan bagaimanapun juga tiap-tiap hal menempati ruang-ruang yang memang telah tersedia untuknya. Sesuatu yang kenyataanya telah ada, tidak bisa dinafikan keberadaannya. Justru ketika kita berusaha keras menafikannya, ia akan semakin mengukuhkan keberadaannya dengan berposisi sebagai sesuatu yang sangat dilarang atau sangat dibenci. Cara yang paling efektif mengatasinya menurutku, dengan menempatkannya di tempat yang semestinya -bisa jadi tempatnya di tong sampah yang terkunci rapat di sebuah ruang masa lalu. Bakteri aja ada yang bisa mendatangkan kesehatan. Alkohol pada suatu keadaan boleh diminum. Jadi, kalo bisa mendatangkan faedah, kenapa tidak? Kenapa harus susah payah dibuang? Atau, kenapa tidak fokus saja menciptakan -mengaplikasikan kebenaran baru yang diperoleh sehingga lambat laun dan tanpa disadari bisa menggantikan ‘kesalahan’ yang akan atau telah usang itu, bukan sebaliknya, menghabiskan energi semata-mata terfokus ke pada 'pemusnahan' masalah (masa lahlu...)! Dan sayup terdengar, Ebiet G Ade bersenandung... Aku Ingin Pulang.
Aku merasa letih dan ingin sendiri. Kutanya pada siapa tak ada yang menjawab. Sebab semua peristiwa ada dirongga dada. Pergulatan yang panjang dalam kesunyian. Aku mencari jawaban di hati... Kemanapun 'tlahku pergi, slalu 'ku bawa-bawa perasaan yang bersalah, datang menghantuiku. Masih mungkinkah pintuMu kubuka, dengan kunci yang pernahku patahkan. Lihatlah aku terkapar dan luka. Dengarkanlah jeritan dari dalam jiwa, aku ingin pulang. Aku harus pulang. Begitu bunyi potongan syair lagu Ebiet G Ade.
Merenung, menyadari kesalahan, dan tidak mempersulit diri adalah langkah penting untuk memulai sebuah pemecahan masalah. Allah tersenyum ketika kita takut akan murkanya dan berharap akan ampunannya. Manusia itu selalu melanggar janji. Ketika Allah bukakan satu pintu maaf, kita ulangi lagi sebuah kesalahan dan kita minta maaf kembali. Atau kita meminta terus tambahan rezki, nikmat dan rahmat Allah, tetap saja Allah bukakan lagi pintu rahmatNya. Begitu seterusnya sampai manusia itu bosan meminta kepada Allah. Sedangkan Allah Mahaluas karuniaNya. Sedangkan manusia itu diciptakan tidak pernah puas dan akan terus memohon ampun dan terus meminta tambahan nikmat dari Tuhannya. Manusia itu seperti anak kecil yang lugu dan tidak tahu malu meminta berkali-kali kepada ibunya. Sementara sang ibu, walaupun kesal, tetap saja senang sampai ia tak mampu lagi mengabulkan permintaan anaknya. Tapi Allah lebih sayang kepada hambanya dari pada sayang ibu kepada anaknya. Seorang ibu saja bisa tersenyum melihat tingkah anaknya, apalagi aku yang geleng kepala melihat hamba tertawa dan mengolok-olok diri sendiri. Dan Allah Mahakaya lagi Mahaluas kasih sayangNya. Maka jangan pernah bosan meminta kepadaNya...
Cari di Ayyadelfath
Posting Terbaru
16 September 2008
Hamba Tertawa
Labels:
Celoteh Fikir 'ku

Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment